Papua merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam namun masih menjadi provinsi termiskin di Indonesia. Meskipun wilayah itu telah dimekarkan menjadi enam provinsi untuk percepatan pembangunan, kesejahteraan masyarakat asli Papua belum mengalami peningkatan signifikan. Kritik pun dilontarkan terhadap pola pemiskinan struktural di Papua dan ketimpangan antara potensi kekayaan alam dan kesejahteraan masyarakat. Meski Papua dikenal dengan keindahan alamnya dan kekayaan sumber daya seperti tambang emas Grasberg, cadangan nikel, dan kayu, namun masih memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi. Sementara sektor pertambangan dan kehutanan Papua menyumbang triliunan rupiah ke kas negara, sebagian besar masyarakat masih hidup dalam kemiskinan absolut dengan akses terbatas terhadap layanan dasar. Data menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Papua melebihi rata-rata nasional, mencerminkan pemiskinan struktural yang bersifat ekonomi, politis, dan kultural.
Pemekaran wilayah menjadi enam provinsi di Papua diharapkan dapat mempercepat pembangunan, namun implementasinya seringkali lebih menguntungkan elit politik dan investor luar daripada masyarakat lokal. Birokrasi dari luar daerah lebih dominan dibanding kapasitas lokal, dan pemekaran cenderung menjadi kontrol pusat ketimbang pemberdayaan. Proyek pembangunan di Papua seringkali tidak melibatkan masyarakat adat dalam proses konsultasi, menyebabkan marjinalisasi dan eksklusi sosial. Papua bukanlah wilayah yang miskin, melainkan wilayah yang dimiskinkan, dan perubahan paradigma dari eksploitatif menjadi partisipatif diperlukan untuk mendorong keadilan pembangunan di wilayah tersebut. Perlindungan hak-hak masyarakat adat, desentralisasi yang sejati, dan penguatan kapasitas lokal menjadi kunci dalam menjaga keadilan di Papua.