Percepatan Kemandirian Antariksa dengan Pendanaan yang Konsisten

by -20 Views

Di tengah meningkatnya tensi geopolitik di luar angkasa, Indonesia dinilai harus segera merumuskan strategi antariksa nasional yang tidak hanya berorientasi pada kemajuan teknologi, namun juga menjamin kepentingan jangka panjang negara. Seruan ini mengemuka dalam diskusi publik bertajuk “Mewujudkan Kemandirian Antariksa Indonesia di Tengah Rivalitas Global”, yang digelar oleh Center for International Relations Studies (CIReS) FISIP Universitas Indonesia, Selasa (27/5).

Acara tersebut mempertemukan berbagai tokoh dari berbagai latar belakang, seperti parlemen, kementerian/lembaga, militer, akademisi, hingga media, dan dibuka oleh Dekan FISIP UI, Prof. Semiarto Aji Sumiarto. Ia menegaskan pentingnya pembahasan isu antariksa sebagai bagian integral dari strategi nasional untuk menghadapi tantangan global.

Sebagai pembicara utama, Prof. Thomas Djamaluddin dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sekaligus mantan Kepala LAPAN, menekankan bahwa penguasaan teknologi antariksa adalah syarat mutlak untuk kedaulatan dan daya saing nasional.

“Indonesia, sebagai negara yang telah lama menerapkan program keantariksaan sejak era 1960-an dan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang meluncurkan satelitnya sendiri, kini dihadapkan pada tantangan serius terkait tata kelola, pembiayaan, dan arah kebijakan setelah integrasi LAPAN ke BRIN,” ungkap Prof. Djamaluddin.

Prof. Djamaluddin menekankan bahwa tanpa langkah-langkah cepat dan strategis, Indonesia berisiko tertinggal dalam persaingan ekonomi antariksa global yang tengah berkembang dengan pesat.

Mantan Kepala Staf TNI AU, Marsekal TNI (Purn.) Chappy Hakim, juga memperingatkan bahwa ruang antariksa saat ini menjadi medan strategis sejajar dengan darat, laut, dan udara. Ia menyoroti dampak langsung dari militerisasi orbit terhadap kedaulatan dan pertahanan negara.

“Saatnya bagi kita untuk berpikir dan bertindak secara strategis dan terpadu,” tegas Chappy, seraya mengusulkan diaktifkannya kembali Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional sebagai forum koordinasi lintas sektor. Ia juga memberikan peringatan agar Indonesia tidak mengulangi kesalahan masa lalu terkait kasus FIR yang sempat terlepas dari kendali nasional.

Dari segi sektor sipil, Anggarini S., M.B.A., dari Asosiasi Antariksa Indonesia, menekankan urgensi mengurangi ketergantungan pada negara lain dalam hal akses data dan peluncuran satelit. Ia mendorong pembangunan ekosistem antariksa nasional secara menyeluruh bersama dengan pengembangan konstelasi satelit di orbit rendah (Low Earth Orbit/LEO) untuk mendukung ekonomi dan layanan publik.

“Teknologi antariksa dapat menjadi solusi yang cost-effective bagi negara kepulauan seperti Indonesia. Oleh karena itu, kita memerlukan dukungan regulasi yang jelas dan komitmen penuh dari pemerintah,” ujar Anggarini.

Dukungan politik juga menjadi fokus utama. Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dr. Dave Laksono, menjelaskan bahwa sektor antariksa merupakan indikator penting dalam kekuatan geopolitik dan ekonomi global.

“Secara politis, sektor ini belum menjadi prioritas karena dampaknya belum dirasakan secara langsung oleh masyarakat, berbeda dengan sektor-sektor seperti pendidikan atau kesehatan,” jelas Dave. Namun, DPR mengungkapkan dukungan mereka terhadap percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Ruang Udara Nasional (RUU PRUN) sebagai dasar hukum untuk memperkuat sektor antariksa nasional.

Dari sisi perencanaan pembangunan, Direktur Transmisi, Ketenagalistrikan, Kedirgantaraan, dan Antariksa Bappenas, Yusuf Suryanto, menekankan pentingnya memiliki kerangka pembiayaan yang solid dan konsistensi lintas sektor untuk menjadikan antariksa sebagai bagian integral dari strategi nasional yang terintegrasi.

“Dalam RPJPN 2025–2045, sektor antariksa telah ditetapkan sebagai proyek strategis nasional. Namun, implementasinya memerlukan kolaborasi, koordinasi pembangunan, dan keberpihakan fiskal yang konkret. Tanpa hal tersebut, kita berpotensi tertinggal dari negara-negara tetangga,” kata Yusuf.

Diskusi tersebut juga menghadirkan berbagai perspektif kritis dari para peserta, termasuk mahasiswa Universitas Pertahanan (Unhan) yang menyoroti minimnya dukungan politik terhadap sektor antariksa. Dave Laksono mengakui bahwa tantangan utama terletak pada minimnya kesadaran publik dan kehendak politik terhadap sektor tersebut.

Di sisi lain, Arif Nurhakim dari Pusat Riset Teknologi Roket BRIN menyampaikan pesannya bahwa pembangunan lembaga antariksa nasional yang lebih berkelanjutan sedang dalam perencanaan.

Kesimpulan dari diskusi tersebut jelas: Indonesia tidak lagi bisa hanya menjadi penonton dalam persaingan antariksa global. Dibutuhkan strategi nasional yang komprehensif, lintas sektor, dan berjangka panjang agar Indonesia mampu berdaulat dan bersaing dalam era ekonomi antariksa yang semakin sengit.

Sumber: Kemandirian Antariksa Indonesia Dan RUU Pengelolaan Ruang Udara Nasional: Strategi Menghadapi Rivalitas Global Di Era Ekonomi Antariksa
Sumber: Menggapai Bintang Dengan Strategi Bumi: Urgensi Kebijakan Antariksa Nasional Indonesia