LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [SOETOMO (BUNG TOMO)]

by -85 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Ketika Rakyat Surabaya menerima ultimatum dari pasukan Inggris, Bung Tomo menjawab dengan teriakan gemuruh: ‘Allahuakbar’ dan ‘Merdeka atau mati.’

Kualitas kepemimpinan Bung Tomo dapat dilihat dalam pidatonya yang disiarkan oleh RRI Surabaya pada November 1945. Kabarnya, pidato ini disiarkan secara terus menerus hingga pemuda Surabaya meraih kemenangan melawan Pasukan Sekutu. Barangkali tanpa pidato ini dan keterampilan Bung Tomo sebagai orator, Indonesia tidak akan menjadi negara merdeka seperti sekarang.

Pada tanggal 10 November 1945, dan selama sepuluh hari berikutnya, rakyat Surabaya bertempur sengit di dan sekitar Surabaya, yang kini populer dengan sebutan Kota Pahlawan.

Ketika membaca catatan sejarah tentang hari-hari tersebut, seseorang tidak bisa tidak terkesan dengan kagum dan bangga.

Pada awal pendirian Republik, ketika Indonesia masih minim perlengkapan, rakyat, terutama para pemuda arek-arek Suroboyo, memilih untuk tidak tunduk pada ancaman dan ultimatum yang dikeluarkan oleh pemenang Perang Dunia II.

Pada saat itu, Angkatan Darat Inggris mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Surabaya. Jika, dalam waktu 24 jam, para pemuda Surabaya tidak menyerahkan senjata mereka dan meninggalkan kota, Angkatan Darat Inggris akan menghancurkannya dengan kekuatan besar dari tank, kapal perang, dan pesawat terbang mereka.

Kita dapat membayangkan beratnya pernyataan tersebut. Ultimatum ini diberikan oleh tentara yang baru saja memenangkan Perang Dunia II. Namun, leluhur kita, dalam usia yang sangat muda, menolak untuk diintimidasi. Mereka bahkan tidak bergeming. Mereka menolak ultimatum sombong tersebut.

Sebaliknya, mereka berteriak ‘Allahuakbar’ dan ‘Merdeka atau Mati’. Mereka memilih untuk melawan pasukan Inggris daripada menyerah dan tunduk pada mereka.

Arek-arek Suroboyo, para pemuda Surabaya, sungguh pantas dihormati dan dihargai. Negara-negara yang menghina kita sebagai lemah, tertinggal, dan malas menyaksikan bagaimana bangsa Indonesia tidak tunduk melalui ancaman, intimidasi, dan kehadiran tentara asing.

Pada tanggal 10 November dan hari-hari berikutnya, Angkatan Darat Inggris menghantam Surabaya dari semua arah. Akibatnya, puluhan ribu orang Indonesia kehilangan nyawa. Satu perkiraan menempatkan korban lebih dari 40.000 jiwa. Namun arek-arek Suroboyo, pejuang kita, menolak menyerah, meskipun menderita kerugian besar. Meskipun mayat berserakan di jalan-jalan dan parit dan sungai berubah menjadi merah dengan darah. Di Surabaya, para pejuang kita, pemuda kita, didukung oleh seluruh rakyat Surabaya, terus bertempur dengan penuh keberanian di tengah hujan peluru dan hujan artileri berat.

Dalam pertempuran ini, selain Gubernur Suryo, yang ceritanya telah saya ceritakan sebelumnya, dan Hario Kecik, yang akan saya ceritakan, Bung Tomo menjadi sosok sentral dan berpengaruh yang memimpin dari garis depan pertempuran.

Soetomo, atau Bung Tomo seperti banyak orang panggil, lahir di Surabaya pada tahun 1920. Di masa mudanya, ia adalah jurnalis lepas dengan harian Soeara Oemoem, harian Ekspres, mingguan Pembela Rakyat, dan majalah Poestaka Timoer.

Pada tahun 1944, ia dipilih sebagai anggota Gerakan Rakyat Baru dan administrator Pemuda Republik Indonesia di Surabaya. Selain itu, pada Oktober 1945, Bung Tomo juga memimpin Barisan Pemuda Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya. Inilah asal-usul keterlibatannya dalam Pertempuran 10 November. Dengan posisinya, ia bisa mengakses stasiun radio yang memainkan peran penting dalam menyiarakan orasinya yang penuh semangat untuk membangkitkan semangat orang untuk berjuang dan mempertahankan Surabaya.

Kualitas kepemimpinan Bung Tomo dapat dilihat dalam pidatonya yang disiarkan oleh RRI (Radio Republik Indonesia) Surabaya pada November 1945. Kabarnya, pidato ini bahkan disiarkan secara terus menerus, dan tidak berhenti sampai para pemuda Surabaya mencapai kemenangan melawan Pasukan Sekutu:

Bismillahirrohmanirrohim… Merdeka!!!

Saudara-saudara, rakyat Indonesia di seluruh Nusantara, khususnya orang Surabaya. Kita semua tahu, hari ini Pasukan Bersenjata Inggris telah menyebarkan pamflet yang berisi ancaman kepada kita semua.

Sebelum batas waktu yang mereka tetapkan, kita disuruh menyerahkan senjata yang kita rebut dari Angkatan Darat Jepang. Mereka telah memerintahkan kita untuk mendatangi mereka dengan tangan terentang.

Mereka telah memerintahkan kita untuk mendekati mereka dengan bendera putih; untuk menunjukkan bahwa kita menyerah pada mereka.

Saudara-saudara, dalam pertempuran-pertempuran sebelumnya, kita telah menunjukkan bahwa orang Indonesia Surabaya, pemuda Maluku, pemuda Sulawesi, pemuda Bali, pemuda Kalimantan, pemuda Sumatra, pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan pemuda Surabaya sendiri, di dalam rombongan masing-masing, bersama tentara rakyat yang terbentuk di desa-desa, mereka telah membangun pertahanan yang tak terkalahkan. Mereka telah menunjukkan kekuatan yang mampu mengusir musuh dari segala penjuru.

Saudara-saudara, musuh kita telah menggunakan taktik curang. Mereka mengundang Presiden kita dan pemimpin lainnya ke Surabaya, berharap kita tunduk dan meninggalkan perjuangan kita. Namun selama itu, mereka memperkuat kekuatan mereka. Dan sekarang kekuatan mereka sudah kuat, itulah yang terjadi.

Saudara-saudara. Kita semua, orang Indonesia Surabaya, akan menerima tantangan Angkatan Bersenjata Inggris. Dan jika pemimpin Pasukan Inggris di Surabaya ingin mendengar jawaban rakyat Indonesia, jawaban pemuda Surabaya, dengarkan dengan seksama.

Inilah jawaban kita. Inilah jawaban rakyat Surabaya. Inilah jawaban para pemuda Indonesia kepada kalian semua!

Hey, Pasukan Inggris! Kalian menyuruh kita membawa bendera putih dan menyerah pada kalian. Kalian memberitahu kita untuk membentuk barisan tunggal dan mengangkat tangan kita di hadapan kalian. Kalian menyuruh kita meletakkan senjata yang kita rebut dari Angkatan Darat Jepang dan menyerahkannya kepada kalian.

Kalian mengatakan akan memporaki kita dengan segala kekuatan militer kalian jika ultimatum kalian tidak dipenuhi. Ini adalah jawaban kita:

Selama kita banteng Indonesia masih memiliki darah merah di dalam diri kita yang bisa kita gunakan untuk membuat sepotong kain merah putih, kita tidak akan menyerah. Kita menolak untuk menyerah kepada siapapun. Rakyat Surabaya, bersiaplah untuk situasi berbahaya ini! Namun saya ingatkan kalian sekali lagi: Jangan memulai tembakan pertama. Hanya saat kita ditembak, kita akan membalas menembak. Kita akan menunjukkan kepada mereka bahwa kita adalah orang merdeka benar-benar.

Dan bagi kita semua, saudara-saudari, lebih baik kita hancur daripada dijajah. Semboyan kita tetap: Merdeka atau Mati! Untuk merdeka atau mati!

Dan kita yakin, akhirnya, kemenangan akan menjadi milik kita, karena Allah ada di pihak kita. Percayalah, saudara-saudari. Allah akan melindungi kita semua. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!!!

Source link