Kapolda Sumbar Disorot Terkait 11 Fakta Janggal Kematian Afif Maulana Diduga Akibat Disiksa Polisi

by -61 Views

JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan mengungkap fakta-fakta janggal kematian siswa SMP Afif Maulana atau AM (13) yang diduga disiksa oleh polisi pada 9 Juni 2024 di Padang, Sumatera Barat (Sumbar). Selain itu, penyiksaan AM ini diduga juga menyebabkan 17 korban lainnya mengalami luka-luka.

Koalisi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan menemukan beberapa fakta awal dan kejanggalan terkait kasus ini, antara lain:

Pertama, inkonsistensi oleh Kapolda Sumbar dalam memberikan keterangan. Awalnya Kapolda menyangkal bahwa korban AM termasuk dalam 18 orang yang telah ditangkap. “Baru setelah kasus menjadi viral, beliau menyebutkan bahwa korban AM meninggal akibat benturan akibat meloncat dari jembatan dan luka-luka yang terdapat di tubuh korban merupakan memar mayat,” tulis rilis yang diterima MNC Portal Indonesia, Rabu (3/7/2024).

Koalisi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan menilai bahwa dalam menangani kasus dugaan tindak penyiksaan yang berujung kematian ini, pernyataan Kapolda terkait kematian AM tidak didukung oleh analisis forensik dan bukti yang meyakinkan sehingga seringkali mengalami perubahan.

Kedua, Kepolisian diduga mengaburkan fakta dan kronologi peristiwa. Pada awal kasus ini, Kepolisian telah menyatakan bahwa proses pengamanan terhadap anak dan remaja yang diduga akan melakukan tawuran telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan SOP.

Selanjutnya terhadap korban AM, Kapolda Sumbar selalu mengarahkan bahwa kematian AM disebabkan oleh melompat dari jembatan saat proses pengamanan. Padahal tidak ada satu saksi pun yang melihat bahwa korban AM melompat. Tetapi Polda Sumbar hanya fokus pada keterangan satu saksi, yaitu saksi A yang mengatakan bahwa korban AM sempat mengajak saksi untuk melompat.

Selain itu, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan menilai bahwa setelah jenazah korban AM ditemukan, pihak kepolisian juga tidak pernah melakukan pemeriksaan terhadap anak dan remaja yang ditangkap saat kejadian. Pernyataan dari polisi ini kemudian berubah kembali menjadi terpeleset dari jembatan.

Ketiga, dokter forensik tidak memberikan pemberitahuan autopsi kepada keluarga. Dalam proses investigasi yang telah dilakukan, keluarga kesulitan untuk mengakses riwayat dari korban AM. Selain itu, keluarga juga tidak diberikan kejelasan mengenai penyebab kematian AM.

Keempat, penyidik tidak membuka laporan hasil autopsi kepada keluarga. Selain dokter yang menyembunyikan penyebab kematian korban AM, polisi juga tidak memberikan informasi yang jelas kepada keluarga mengenai penyebab kematian korban AM.

Kelima, pengarahan opini publik dengan keterangan selektif dari dokter ahli forensik. Hasil investigasi menemukan bahwa selain menyembunyikan penyebab kematian, dokter ahli forensik yang ditunjuk oleh pihak polisi juga telah mengesampingkan kemungkinan penyiksaan sebagai penyebab kematian AM. Selain itu, ada banyak rincian teknis tentang kedokteran forensik yang tidak relevan dengan kasus kematian AM.

Keenam, adanya pernyataan intimidasi dan penyiksaan terhadap para saksi. Berdasarkan kesaksian yang berhasil didapatkan, salah seorang saksi yang diizinkan pulang oleh polisi mendapatkan ancaman.

“Dalam kesaksian, ia mengatakan bahwa polisi akan menangkap dan menyiksa lagi bagi mereka yang melaporkan peristiwa ini. Ancaman ini juga terjadi pada saksi-saksi lainnya sehingga banyak dari mereka merasa takut dan tidak aman,” tulis Koalisi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan.

Ketujuh, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan memandang adanya upaya ancaman kepada penyebar berita tentang korban. “Dalam konferensi persnya pada 23 Juni 2024, Kapolda Sumbar, Irjen Pol. Suharyono merasa telah diadili oleh media massa (trial by the press) sehingga telah merusak citra kepolisian. Ia mencari orang yang memviralkan informasi tentang korban AM,” tulisnya.

Kedelapan, tidak ada pengamanan di lokasi penemuan jenazah korban AM. Sejak jenazah korban AM ditemukan, tempat kejadian perkara terus didatangi masyarakat sehingga tidak menutup kemungkinan adanya upaya untuk menghilangkan atau menghapuskan alat bukti. Baru kemudian, pada 28 Juni 2024 polisi memasang garis polisi untuk mengamankan TKP.