Diskusi Aturan Intelijen di Indonesia oleh Prodi HI UKI dan DPR RI

by -94 Views

Debat Aturan Intelijen di Indonesia oleh Program Studi Hubungan Internasional UKI Bersama DPR RI

Undang-Undang No.17/2011 menyatakan bahwa intelijen negara bertanggung jawab untuk melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan guna melakukan deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap segala ancaman yang muncul dan mengancam kepentingan serta keamanan nasional.

Anggota Komisi I DPR RI, Mayor Jenderal TNI (Purn.) Dr. H. Tubagus Hasanuddin, S.E.,M.M., M.Si, menyampaikan hal ini dalam Focus Group Discussion (FGD) “Aturan Tambahan dalam Spionase: Jejaring Atau Kuasa, Sebuah Diskursus” yang diselenggarakan oleh Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Kristen Indonesia (UKI) bersama dengan Departemen HI UI, di Ruang Executive FEB Gedung AB UKI (11/06).

“Jadi peran intelijen negara adalah melakukan kegiatan deteksi dan peringatan secara dini atas ancaman kepentingan dan keamanan nasional,” kata Tubagus Hasanuddin.

Menurut Tubagus, Undang-Undang Intelijen digunakan untuk mengatur kegiatan intelijen, namun yang terpenting adalah keberadaan aspek moral untuk mencegah penyalahgunaan kegiatan intelijen untuk kepentingan lain.

Alat-alat teknologi sadap telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, memungkinkan pengawasan yang lebih efektif dan invasif. Alat-alat ini sering digunakan untuk memantau komunikasi digital, seperti pesan teks, panggilan telepon, dan aktivitas online lainnya. Meskipun teknologi ini dapat digunakan untuk tujuan keamanan yang sah, laporan Amnesty International menyoroti bagaimana alat-alat ini sering disalahgunakan.

Lebih lanjut, Tubagus Hasanuddin menjelaskan bahwa dalam Undang-Undang Intelijen negara, isu utama terkait dengan penyadapan. “Penyadapan memiliki tujuan yang baik asalkan hak asasi manusia tetap dilindungi,” katanya.

Guru Besar ilmu keamanan internasional Fisipol UKI, Prof. Angel Damayanti, Ph.D. menyoroti adanya aturan mengenai penyadapan yang termasuk dalam Rancangan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

“Hal yang paling penting adalah aturan tentang penyadapan atau spionase harus memprioritaskan keamanan dan hak asasi manusia. Penegak hukum melakukan penyadapan untuk menjaga keamanan negara dari ancaman. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pemerintah untuk memastikan regulasi terkait spionase atau intelijen tidak mengorbankan kebebasan individu,” ungkap Prof. Angel Damayanti.

Prof. Angel menjelaskan mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) spionase, norma, dan etika dalam pengumpulan informasi, serta perlunya kejelasan dalam mendefinisikan ancaman untuk menciptakan regulasi yang efektif.

“Dalam menyusun RUU, penting untuk memiliki persepsi yang sama tentang apa yang dimaksud dengan ancaman. Misalnya, dalam kasus terorisme, terjadi perbedaan pendapat tentang apakah perempuan, remaja, dan anak-anak dianggap sebagai korban, pelaku, atau ancaman. RUU harus secara jelas mengatur apakah bukti digital yang diperoleh melalui spionase dapat digunakan sebagai alat bukti dalam pengadilan kasus terorisme, yang akan membantu hakim dalam memberikan hukuman yang lebih adil,” jelas Prof. Angel.

Narasumber lainnya, Kepala Program Studi Hubungan Internasional Fisipol UKI, Arthuur Jeverson Maya, M.A., menyampaikan pandangannya mengenai kontradiksi dalam hubungan negara dengan spionase, dan pentingnya perkembangan teknologi dalam akses informasi.

“Spionase merupakan bentuk perang yang dilakukan secara rahasia melalui pengawasan dan pengumpulan informasi secara diam-diam,” ujar Arthuur.

Menurut Direktur Centre for Social Justice and Global Responsibility UKI ini, terdapat kontradiksi antara keterbukaan dan kerahasiaan dalam hubungan negara dan spionase. “Negara harus tetap transparan untuk mempertahankan legitimasi dan kepercayaan publik, namun kerahasiaan juga penting untuk melindungi keamanan negara,” ujarnya.

“Perkembangan teknologi dalam akses dan analisis informasi sangat penting. Perbedaan dalam kecepatan akses informasi dapat menjadi tantangan besar, sehingga negara harus terus memperbarui dan meningkatkan teknologi mereka untuk memastikan informasi dapat diperoleh dan digunakan secara efektif. Selain itu, regulasi yang jelas dan tegas penting untuk mengatur kegiatan spionase, agar tidak menimbulkan masalah etika dan hukum di masa mendatang,” jelas Arthuur.

FGD juga dihadiri oleh Guru Besar Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Universitas Bakrie, Prof. Hoga Saragih, Ph.D.; Direktur Riset Indo Pacific Strategic Intelligence, Aisha Rasyidilla Kusumasomantri, M.Sc.; serta Direktur Cesfas UKI, Darynaufal Mulyaman sebagai moderator.

“Ruang untuk debat mengenai spionase dan intelijen harus tetap terbuka meskipun merupakan isu yang sensitif. Dinamika sosial merupakan rekonstruksi yang terus berkembang, karena setiap hal dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Yang penting adalah tidak melanggar etika dan moral dalam menindak kebebasan berpendapat,” tutup moderator. (Z-7)

Sumber: https://mediaindonesia.com/humaniora/677584/prodi-hi-uki-bersama-dpr-ri-diskusikan-aturan-intelijen-di-indonesia

Source link