Trauma Bencana Terjadi Pada Korban dan Penyintas
Trauma bisa terjadi kepada setiap korban atau penyintas dari suatu kejadian bencana. Namun, tidak semua penyintas akan sampai pada fase tersebut. Upi belakangan merasa khawatir. Aktivitas Gunung Merapi, Jawa Tengah yang meningkat, menimbulkan kengerian mendalam baginya. Ingatan dari masa kecil tentang peristiwa besar pada 2010 silam, mudah memicu ketakutan ketika menemukan lagi momentumnya. Ketika itu, Upi dan keluarganya harus mengungsi menyelamatkan diri dalam suasana yang panik dan mencekam, meninggalkan rumah mereka yang hancur, dalam rangkaian letusan terbesar Merapi di era modern. Peristiwa itulah yang saat ini kembali menghantui Upi.
Amukan Merapi pada 2010 silam menyebabkan kerusakan masif. Muntahan lava pijar meluluhlantakkan desa-desa di selatan lereng, sepanjang jalur Kali Gendol di Kecamatan Cangkringan, Sleman, DIY. Di sanalah rumah Upi berada, hancur dan diselimuti abu. Saat ini, Upi telah pindah ke sebuah rumah baru di wilayah Cangkringan yang masih berjarak sekitar 10 km dari Merapi. Meskipun begitu, dia masih merasa cemas dan takut karena aktivitas gunung meningkat dalam beberapa hari terakhir, dan dia merasa panik setiap kali terdengar suara letusan. Apakah Upi mengalami trauma?
Rasa takut yang dirasakan Upi mudah dimengerti, mengingat pengalamannya berhadapan dengan peristiwa letusan 12 tahun silam. Dalam keadaan seperti ini, Upi adalah contoh yang tepat sebagai penyintas yang mampu pulih dengan baik dari fase stres dan frustasi akibat kejadian luar biasa, seperti letusan gunung berapi.
Lain cerita dengan Aris, penyintas bencana gempa dan tsunami Aceh tahun 2004. Pemilik nama lengkap Muhammad Arista Ramadhani ini memiliki pengalaman yang jauh lebih sulit dan panjang dalam bergelut dengan trauma akibat bencana alam. Ketika tsunami, Aris juga masih kanak-kanak. Tapi ingatan itu jelas, tentang bagaimana ia dan keluarga harus berlari ke puncak bukit, dan menyaksikan kota tersapu gelombang tsunami. Aris dan seluruh keluarganya selamat. Namun rumah mereka yang berada tepat di bibir pantai, rata ditelan gelombang. Dalam masa-masa itu, Aris mengalami stres karena sering melihat mayat, trauma dengan laut, dan kejadian gempa susulan. Butuh waktu bertahun-tahun bagi Aris keluar dari fase traumatik itu. Salah satu yang membantunya adalah pendampingan psikologis yang ia terima dari berbagai relawan dan pendamping di pemulihan pascatsunami.
Trauma, penyingkatan dari Post Traumatic Stress Disorder, bisa terjadi kepada setiap korban atau penyintas dari suatu kejadian bencana. Praktisi Psikologi Kebencanaan, pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, Wahyu Cahyono, menjelaskan, dampak psikologis yang dirasakan setelah kejadian bencana adalah sesuatu yang wajar dan normal dalam situasi tidak normal (bencana). Wajar jika korban dalam periode awal setelah bencana merasa linglung, panik, ataupun terlihat murung, karena itulah dampak dari pengalaman luar biasa yang dialami. Dukungan psikologis awal, atau dukungan psikososial, inilah yang berperan membantu korban bencana untuk mengelola dampak psikologis yang mereka rasakan akibat bencana.
Relawan pendamping adalah orang-orang yang telah lebih dahulu menerima pembekalan khusus terkait kegiatan tersebut. Mereka mengajak warga berdialog tentang perasaan dan aspirasi-aspirasi mereka, bersama psikolog yang memang sudah dipersiapkan. Dukungan psikososial ini unik karena berbeda dengan bentuk dukungan pada umumnya yang muncul saat kejadian bencana. Tak ada sembako, tak ada obat-obatan, ataupun fasilitas fisik yang diberikan. Akan tetapi, jangan salah, dukungan psikososial tak kalah pentingnya dengan dukungan materi bagi korban bencana.